Repositioning Industri Indonesia di Pasar Global

industry.jpgDewasa ini produk-produk Cina gencar memasuki pasar ekspor di banyak negara. Produk-produk Cina tidak hanya masuk ke negara-negara berkembang tapi juga mampu menembus negara-negara maju seperti Amerika dan Eropa. Akibatnya, banyak industri di setiap negara yang khawatir pasar ekspornya akan berkurang. Dan mau tidak mau, setiap industri harus bersiap-siap melakukan repositioning strategi bisnisnya untuk menghadapi persaingan dengan produk Cina, tak terkecuali industri di Indonesia.


Hal ini cukup mengejutkan mengingat sepuluh tahun lalu Cina masih bukan siapa-siapa dalam bidang industri. Memang dengan jumlah penduduknya yang besar Cina merupakan pasar yang menggiurkan. Tapi dalam kemajuan teknologi industri, Cina dapat dikatakan masih dalam tahap belajar dibandingkan negara-negara mau lainnya.


Pasar Global
Pada era perdagangan bebas saat ini, batasan-batasan perdagangan menjadi semakin tipis. Seperti dikatakan salah satu guru pemasaran Asia, Kehnichi Ohmae, bahwa dunia akan menjadi borderless world. Setiap negara bebas untuk memasarkan produknya ke negara lain. Pembatasan ekspor yang sebelumnya berdasarkan kuota yang diberikan oleh negara pengimpor sudah tidak berlaku lagi.

Terbukanya pasar yang lebih luas juga dimungkinkan dengan adanya perjanjian multilateral seperti WTO, GATT, dan kerjasama regional AFTA. Sehingga pasar semakin luas dan lalu lintas perdagangan semakin ramai. Akhirnya, hanya negara dengan produk berdaya saing tinggi saja yang akan mampu bertahan.

Proses perubahan persaingan di era globalisasi ini bisa kita amati dari tiga aspek penggeraknya. Penggerak perubahan atau change driver yang pertama adalah teknologi. Sejarah membuktikan bahwa teknologi informasi mampu membawa suatu negara menuju perkembangan yang pesat. Contohnya Amerika yang kembali menjadi leader dalam kemajuan ekonomi berkat dukungan banyak perusahaan di bidang Information Technology.


Change driver
kedua adalah sistem ekonomi. Michael Porter dalam bukunya competitive strategy menekankan pentingnya peran pemerintah dalam memberikan dukungan bagi perusahaan lokal agar lebih kompetitif. Contoh sukses peran pemerintah dalam mendukung dunia usaha saat ini telah terjadi di Korea Selatan. Presiden Korea Selatan di masa tahun 1960-an, Park Chung Hee, menyadari perlunya transformasi ekonomi dari masyarakat pertanian menjadi masyarakat industri. Hasilnya, di akhir abad ke-20 Korea telah menjadi salah satu raksasa industri di dunia.

Selanjutnya sistem ekonomi akan berubah mengikuti change driver ketiga yaitu pasar. Pasar global memungkinkan pengusaha dari seluruh negara bersaing memperebutkan pasar domestik negara lain. Akibatnya pasar akan semakin berhak menentukan seberapa besar nilai yang bisa didapat dari suatu produk. Salah satu nilai yang diinginkan pasar adalah produk berkualitas dengan harga murah.


Geliat Industri “Sang Naga”
Cina, “sang naga” Asia, terlihat cepat mengambil peluang di pasar global. Cina yang sebelumnya menutup diri dengan kebijakan ekonomi sentralistik mulai membuka diri bagi perdagangan dan investasi asing. Pemerintah Cina merasa negaranya perlu melakukan transfomasi ekonomi yang bersifat terbuka. Hal itu ditunjukan dengan banyaknya kemudahan-kemudahan bagi pendirian usaha dan investasi.

Salah satu kemudahan itu berupa rendahnya tingkat suku bunga yang hanya berkisar lima sampai enam persen. Biaya angkutan di pelabuhan bagi industri yang melakukan ekspor juga ditekan semurah mungkin. Dengan pemberian kemudahan-kemudahan itu diharapkan industri Cina mampu membuat produk yang berkualitas, murah, dan berdaya saing tinggi di pasar eskpor Internasional. Dan diharapkan pasar akan mulai melirik produk Cina karena mampu berperan sebagai cost leader.

Usaha pemerintah Cina ini pelan-pelan mulai membuahkan hasil. Pada tahun 1996 Cina yang masih berada diposisi 10 sebagai negara pengekspor terbesar dunia telah mencapai posisi keempat pada tahun 2003.
Pada tahun itu Cina berhasil mencapai volume pedagangan ekspor sebesar 5,88 miliar dollar AS.

Pertumbuhan ini jelas mengkhawatirkan Negara-negara tetangganya seperti Negara di ASEAN. Sedangkan bagi Cina, ASEAN dengan 530 juta penduduknya, menjadi peluang yang besar bagi produk-produk Cina. Apalagi dengan adanya AFTA sebagai kawasan perdagangan bebas Negara-negara ASEAN, Cina menjadi lebih agresif dengan menyatakan ingin bergabung dengan AFTA.


Kinerja Ekspor Industri Indonesia
Bagi Indonesia, pertumbuhan ekonomi Cina jelas-jelas sangat merisaukan. Banyak industri nasional yang merasa kehilangan pasar ekspornya akibat membanjirnya produk-produk Cina. Berdasarkan data dari departemen perdagangan, kontribusi ekspor Indonesia dibeberapa Negara cenderung menurun dari tahun 1996 sampai dengan 2003. Berbeda dengan Cina yang terus agresif meningkatkan pangsa pasarnya di pasar ekpor dunia. Walau tidak sebaik Cina, India juga mampu mencatat peningkatan ekspor yang signifikan.

Khusus sektor industri tekstil dan produk tekstil (TPT), Indonesia mengalami penurunan ekspor sejak 2001 sebesar 6 persen, dari 7,8 miliar menjadi 7,1 miliar. Sedangkan Cina mengalami peningkatan ekspor 33,78 persen, Vietnam 1,8 persen dan India 13, 6 pesen. Untuk Industri mebel, produk Indonesia bersaing ketat dengan produk Cina di pasar ekspor Amerika. Namun Cina berhasil merebut pasar ekspor Amerika sebesar 2 miliar dollar AS. Berbeda dengan Indonesia yang hanya mampu meraih seperempatnya yakni 500 juta dollar AS. Ironisnya, sebagian besar bahan baku industri Cina berasal dari Indonesia.


Analisis Strategi Industri Indonesia
Kemudian, apakah industri nasional kita telah kehilangan daya saingnya? Kalau berdasarkan data tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa Indonesia mengalami krisis daya saing terhadap produk-produknya.

Dengan penurunan nilai perdagangan ekspor ini, industri Indonesia perlu segera melakukan repositioning. Karena industri Indonesia tidak hanya perlu mempertahankan pasar ekspornya tapi juga harus mampu mengembangkannya.


Repositioning disini berarti Industri nasional harus menganalisis kembali strategi-strategi bisnisnya agar dapat memenangkan pasar. Kalau Cina mampu mengedepankan harga murah sebagai keunggulan daya saingnya, maka jelas berat bila industri kita bermain di harga juga.

Tingginya tingkat suku bunga yang mencapai 15-20 persen dan mahalnya biaya tranportasi di pelabuhan, membuat biaya produksi menjadi sangat tinggi. Belum lagi peningkatan harga bahan bakar minyak (BBM) diatas 50 persen. Akumulasi tingginya biaya produksi tentu akan membuat harga jual produk menjadi lebih mahal. Dan akibatnya industri Idonesia sangat sulit bersaing dalam harga.

Selama ini masih banyak industri kita yang berorientasi ekspor dengan mengandalkan harga murah. Dan ketika ada Negara lain yang mampu membuat produk lebih murah, industri kita akan kehilangan daya saingnya sama sekali.

Yang pertama harus dilakukan adalah bagaimana industri kita meredeifinisi strategi bisnisnya agar bisa memberikan nilai lebih bagi pelanggan. Nilai inilah yang akan memperkuat kepuasan dan loyalitas pelanggan.

Inti dari nilai adalah brand. Brand disini merupakan resultan dari semua strategi yang dijalankan persahaan terhadap produk. Staregi ini meliputi penentuan Segmentation, targeting, dan positioning yang dapat memenangkan mind share dari pasar.

Agar mind share bisa kita menangkan, harus dilakukan segmentasi dan penentuan target yang jelas di pasar ekspor internasional. Di negara mana saja dan pada kelas apa saja produk akan kita arahkan. Strategi ini akan semakin jelas dengan adanya positioning produk yang dilakukan industri kita.

Di sini, kita bisa belajar dari pengalaman Wibowo, sorang pengusaha mebel yang merintis eskpor ke pasar Amerika sejak 2001. Ia bercerita telah meraih segmen kelas menengah ke atas. Meski harga jual mahal, namun pasar Amerika tetap memilih produk Indonesia karena faktor mutu. Wibowo mencontohkan, dalam kualitas presisi, pelapisan kayu, kekuatan sambungan dan ukiran Indonesia memiliki keunggulan dibanding mebel dari Cina. “Mebel Cina mungkin merajai pasar, tetapi dalam soal mutu masih kalah jauh dengan produk Indonesia”, ujar Wibowo.

Mengambil kasus Wibowo, positioning disini berupa kualitas. Sehingga produk-produk Indonesia akan semakin tertanam dibenak pelanggan sebagai produk-produk berkualitas tinggi. Niscaya industri massal ala Cina akan kesulitan menghadapi persaingan dengan industri kita yang menomorsatukan kualitas. Cina dengan nilai utama produknya sebagai pengekspor produk-roduk murah tentu akan dapat kita saingi.

Di samping memposisikan sebagai produk berkualitas tinggi, industri kita perlu melakukan penajaman diferensiasi produk. Diferensiasi yang didukung strategi pemasaran dan penjualan terpadu akan dapat meraih pasar ekspor yang jelas. Dan diharapkan industri Indonesia akan dapat membangun merek yang kuat.

Dengan memperkuat ekuitas merek, industri Indonesia akan mampu keluar dari perangkap komoditas. Merek memungkinkan produk terbebas dari aturan dasar kurva permintaan dan penawaran. Kita pasti telah mengetahui bahwa harga yang terbentuk dari adanya keseimbangan antara penawaran dan permintaan. Namun dengan kekuatan merek, kita bisa terbebas dari hukum tersebut. Dan kita bisa mematok harga mengikuti kemampuan nilai yang kita tawarkan (perceived value) ke pelanggan.

Dalam merealisasikan strategi tersebut, diferensiasi memegang peranan sangat penting. Dengan diferensiasi yang jelas, pelanggan akan mampu menerjemahkan produk dengan mudah. Michael Porter menyatakan bila anda tidak bisa menjadi cost leader, jadilah differentiator. Jadi, untuk industri kita, contoh diferensiasi itu adalah gaya ukiran Jepara pada produk mebel, atau corak batik pada produk tekstil. Diferensiasi ini bisa menjadi daya saing yang sulit untuk ditiru oleh produk dari negara lain.

Strategi pemasaran dan penjualan jelas menjadi ujung tombak keberhasilan strategi peningkatan daya saing produk Indonesia. Bauran pemasaran yang meliputi produk, harga, tempat dan promosi akan semakin mendiferensiasikan produk yang ditawarkan perusahaan. Nah, dalam berpromosi produk-produk Indonesia tidak hanya perlu mengikuti pameran atau event marketing didalam negeri tetapi juga di pasar luar negeri. Sehingga strategi penjualan akan menjadi taktik yang mampu menangkap market share yang lebih luas dan sustainable.


Peran Pemerintah
Strategi yang dijalankan perusahaan mau tidak mau juga memerlukan peran pemerintah. Dengan dukungan stabilitas ekonomi makro, pengusaha dapat menciptakan produk yang semakin kompetitif.

Selain itu Pemerintah perlu membantu menyelesaikan saluran distribusi yang ilegal. Karena selama ini bahan mentah kayu untuk industri mebel Cina berasal dari Indonesia melalui saluran distribusi yang ilegal. Bahan mentah kayu ilegal tersebut dibeli dengan harga setengahnya dari harga yang legal di Indonesia. Sehingga Cina mampu membuat mebel dengan harga murah dari produk mebel Indonesia. Bila pemerintah mampu menjaga saluran distribusi, jelas produk mebel kita akan lebih murah dan memiliki daya saing tinggi terhadap produk mebel Cina.

Sebenarnya bila pemerintah mau serius mendukung, keuntungannya akan dirasakan oleh pemerintah sendiri. Pemasukan devisa negara semakin tinggi dan tingkat pengangguran akan berkurang. Hal ini akan berjalan seiring dengan meningkatnya daya saing dan kinerja ekspor industri kita.***

 

Tulisan ini dibuat sebagai salah satu kontribusi untuk ikut mengembangkan UKM di Indonesia.

Advertisement

2 thoughts on “Repositioning Industri Indonesia di Pasar Global

  1. www, keren Mas tulisannya,
    btw kalo dilihat dari value chain, sebenarnya untuk industri-2 tertentu Indonesia bisa
    main diharga sebagai strategi awal untuk merebut market share.
    semisal untuk industri rotan (+- 80% bahan baku rotan dunia dari Indonesia), atau taruhlah kayu manis, dan kayu besi atau kayu-2 tertentu yang boleh dibilang hanya ada di Indonesia, dan hanya tersedia sedikit dinegara lain). Asal pemerintah tidak menerapkan kebijakan yang hanya mengandalkan profit = P X Q Indonesia bisa menikmati sumber daya yang berlimpah.
    ex: taruhlah jika pemerintah melarang ekspor rotan mentah sama sekali bukan tidak mungkin industri rotan di negra lain cengep-2 kekurangan bahan baku dan Indonesia kasarannya asal membuat mebel rotan asal jadipun bisa laku dipasar. Setelah mendapat market share dengan permainan harga,dan adanya pembelajaran (learning curve) baru deh produk itu main di merek dan kualitas.
    Jadi pemerintah perlu strategi yang unik dan berbeda (positioning). Diperlukan kebijakan yang lain dari yang lain dan mungkin “sedikit agak gila”/ out of the book (bukan box)….
    hehehehe sory pendapat gw ngawur Mas….
    Ganbatte!

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s